Dari sudut bisnis pertunjukan, menyaksikan sebuah kompetisi sepak bola
semestinya bisa menghibur. Lebih jauh lagi, penonton berpeluang mendapat
pencerahan tentang permainan, aturan, disiplin, profesionalisme dan
sisi teknis lainnya. Ada keseimbangan antara teori (aturan) dan praktik.
Itu bisa diperoleh ketika menyaksikan kompetisi Inggris, Italia, Spanyol atau kawasan Eropa lain. Dipadu dengan banyaknya materi bacaan melalui media, pemahaman sebuah kompetisi dan permainan berjalan dalam satu paket hiburan.
Namun tidak demikian dengan kompetisi di Indonesia. Pemahaman sangat mungkin ditumpulkan. Sebab berbagai situasi dan kondisi yang terjadi justru bertolak belakang dengan aturan atau praktik umum di belahan dunia lain yang lebih maju.
Kompetisi yang mana? Ya, keduanya. Liga Primer Indonesia dan Liga Super Indonesia.
Di kedua kompetisi itu, penganiayaan wasit terjadi hanya selang tiga hari. Di IPL pada 19 Mei 2012, wasit dikeroyok dalam pertandingan antara Persiba Bantul dan Semen Padang. Sementara di ISL pada 21 Mei 2012, giliran wasit dianiaya sebagian pemain Persela Lamongan karena dianggap membela tuan rumah PSMS Medan.
Kasus terkait wasit ini sebenarnya sudah biasa terjadi di kompetisi nasional. Namun masalahnya, sepak bola punya peluang untuk tidak meniru atau ikut menghadirkan kekerasan ke lapangan. Apapun alasannya. Sepak bola, seperti olahraga lain, mengusung prinsip “fair play”. Ia bisa menjadi suri tauladan.
Di kompetisi Eropa, sangat sulit menemukan wasit dianiaya oleh pemain atau panitia. Padahal keputusan wasit yang bias tidak jarang terjadi. Sebagai contoh, pertandingan antara Tottenham Hotspur dengan Chelsea di musim EPL yang baru selesai. Sempat ada gol kontroversial Juan Mata. Konon, bola belum melintasi gawang Hotspur.
Namun tak satu pun pemain Hotspur mengintimidasi wasit Martin Atkinson. Tidak seperti pemain Persela yang memilih menghakimi wasit.
Orang bisa saja menilai bahwa tindakan yang dilakukan pemain, tim, ofisial atau klub itu sah karena klaim “dirugikan wasit”. Wasit Indonesia memang dikenal berkemampuan rendah, kompetensinya sering dipertanyakan. Belum lagi cerita miring tentang wasit yang menerima “titipan” dari hampir semua tim.
Namun menghakimi wasit di lapangan juga tidak pada tempatnya. Ironisnya, wasit Indonesia pun jarang memberi ganjaran sesuai aturan kepada pemain yang menyerangnya. Situasi ini benar-benar menipu khalayak. Mereka menganggap penonton tidak tahu bahwa kartu merah pantas diberikan kepada pemain atau ofisial tim yang menyerang wasit.
Menyaksikan kompetisi di Indonesia juga bisa membuyarkan pemahaman Anda tentang permainan keras. Yang terjadi di Indonesia adalah permainan kasar, bukan keras. Tetapi itu dianggap biasa.
Bagaimana membedakan permainan keras dengan kasar? Lihatlah tim Indonesia, baik klub atau timnas, bermain melawan tim asing dan dipimpin oleh wasit asing pula maka sering kali pemain kita terkena kartu merah atau kuning. Padahal dalam kasus serupa di kompetisi Indonesia, tekel kasar yang biasa dianggap keras itu tidak terkena hukuman apapun dari wasit.
Pemahaman terhadap permainan menjadi bias. Pemain atau pelatih pun bingung. Orientasi tentang permainan yang benar dan sesuai dengan peraturan menjadi kabur.
Banyak lagi contoh praktek dari kompetisi di Indonesia yang tidak mencerahkan. Manajemen tim, infrastruktur keuangan yang besar pasak daripada tiang, stadion yang apa adanya, rumput lapangan bermutu buruk dan sebagainya.
Ada beberapa pihak, baik dari IPL maupun ISL, yang memang mencoba memperbaiki masing-masing bagian. Namun ternyata tidak cukup karena infrastruktur tidak dibenahi dan disiapkan atau dibangun dengan baik oleh pengelola.
Tidak heran ada komentar yang mengatakan, ini kompetisi Indonesia, sehingga hal-hal yang tidak lumrah itu wajar. Masalahnya, apa yang dianggap wajar itu justru membuat sepak bola kita sulit berprestasi. Kemampuan pemain tidak meningkat signifikan dari tahun ke tahun. Akibatnya sponsor harus berpikir keras untuk menanamkan uangnya di sepak bola nasional.
Pemahaman Anda tentang yang baik dan benar menjadi tumpul. Khalayak dan bahkan pemain bisa kehilangan orientasi.
Pengelola dan pembina kompetisi harus bekerja keras membenahinya. Titiknya dimulai dari mengembalikan semua kejadian di lapangan sesuai dengan aturan main yang ada. Memangkas praktik miring dan mengembalikan sistem ke arah yang benar. Hanya itu pilihannya.
Pertanyaannya, mau atau tidak?
sumber: http://id.olahraga.yahoo.com/blogs/arena/kompetisi-yang-mengaburkan-orientasi.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar