Final Liga Champions 2004/05 antara AC Milan dan Liverpool menyajikan mukjizat Istanbul yang tak terlupakan sepanjang zaman.
Final Liga Champions 2005
25 Mei 2005
Stadion Olimpiade Kemal Ataturk, Istanbul
Wasit: Manuel Mejuto Gonzalez
Penonton: 70.024 orang
AC Milan 3-3 Liverpool
(2-3 adu penalti)
(Paolo Maldini 1', Hernan Crespo 38', 42';
Steven Gerrard 54', Vladimir Smicer 56', Xabi Alonso 60')
Milan
1- Dida
2- Cafu
3- Paolo Maldini
31- Jaap Stam
13- Alessandro Nesta
21- Andrea Pirlo
8- Gennaro Gattuso / 10- Rui Costa (112')
20- Clarence Seedorf / 27- Serginho (86')
22- Kaka
7- Andriy Shevchenko
11- Hernan Crespo / 15- Jon Dahl Tomasson (85')
Liverpool
1- Dudek
3- Steve Finnan / 16- Dietmar Hamann (46')
21- Djimi Traore
23- Jamie Carragher
4- Sami Hyypia
14- Xabi Alonso
10- Luis Garcia
6- John Arne Riise
8- Steven Gerrard
7- Harry Kewell / 11- Vladimir Smicer (23')
5- Milan Baros / 9- Djibril Cisse (85')
Dinding
stadion Kemal Ataturk seperti setipis kertas. Dari kamar ganti
Liverpool, sorak sorai pemain AC Milan di ruangan yang berbeda begitu
jelas terdengar. Semua pemain Liverpool tertunduk lesu. Tak ada yang
berani menegakkan kepala. Pada malam final Liga Champions 2004/05 itu,
Milan memberikan pukulan telak kepada Liverpool. Milan mampu unggul 3-0
saat jeda. Bek veteran Paolo Maldini membuka keunggulan pada menit
pertama pertandingan. Sebelum turun minum, Hernan Crespo menambahnya
dengan dua gol. Awal yang sempurna.
Tak mau disetir kemurungan,
Rafael Benitez menghimpun nafas dan berdiri di tengah para pemainnya.
Sang manajer sadar, dia hanya punya waktu 15 menit untuk mengembalikan
kepercayaan diri tim. Ketika berjalan dari bangku cadangan menuju ruang
ganti, benak Benitez dipusingkan mencari-cari kalimat dalam bahasa
Inggris yang tepat untuk "menghidupkan" para pemainnya. Kalimat yang
kemudian meluncur dari mulutnya sederhana saja.
"Jangan tundukkan
kepala kalian. Kita Liverpool. Kalian bermain untuk Liverpool. Jangan
lupakan itu. Kalian harus tetap menegakkan kepala kalian untuk suporter.
Kalian harus melakukkannya untuk mereka", serunya.
"Kalian tak
pantas menyebut kalian pemain Liverpool kalau kepala kalian tertunduk.
Kalau kita menciptakan beberapa peluang, kita berpeluang bangkit dalam
pertandingan ini. Percaya lah kalian mampu melakukannya. Berikan
kesempatan buat kalian sendiri untuk keluar sebagai pahlawan."
Sebelum
tim keluar kamar ganti, Rafa menyusun skema formasi baru di papan
tulis. Untuk menghambat Kaka, Rafa meminta Dietmar Hamann bersiap tampil
menggantikan Djimi Traore. Namun, ketika diberitahu Steve Finnan
mengalami cedera, Benitez memanggil kembali Traore yang sudah mencopot
sepatu dan berjalan ke kamar mandi. Keputusan terakhir, Finnan keluar,
Hamann masuk.
Rafa sadar, tak ada lagi ruginya mengorbankan
seorang pemain bertahan. Liverpool bermain dengan tiga pemain belakang
dan kapten Steven Gerrard didorong lebih ke depan. Liverpool memang
harus bangkit, sekarang atau tidak sama sekali.
Inilah lima belas
menit yang menentukan. Lima belas menit yang mengubah segalanya. Babak
kedua menjadi milik Liverpool. Sembilan menit berjalan, Liverpool
menyulut sumbu ledak stadion. Dalam rentang enam menit berikutnya,
Liverpool ganti mengendalikan situasi. Steven Gerrard memberikan gol
inspirasional lewat sundulan kepala menyongsong umpan John Arne Riise.
Tak lama berselang, tendangan keras jarak jauh Vladimir Smicer tak dapat
ditahan Dida. Belum lagi Milan menata diri, pada menit ke-60, Gerrard
dijatuhkan di kotak penalti oleh Gennaro Gattuso. Penalti! Awalnya,
eksekusi Xabi Alonso sempat ditahan Dida, tapi bola muntah langsung
disambar Alonso.
Cerita belum selesai. Kedudukan 3-3 bertahan
hingga 90 menit. Pertandingan diperpanjang hingga 30 menit, tapi tetap
tak bisa menentukan pemenang. Juara Liga Champions musim itu pun harus
diselesaikan melalui babak adu penalti.
Sebelum "babak perjudian"
itu dimulai, Jamie Carragher datang menghampiri kiper Jerzy Dudek.
Carra menyarankan Dudek agar melakukan "sesuatu" untuk mengacaukan
konsentrasi pemain Milan. Dudek langsung teringat rekaman video yang
pernah disaksikannya. Kaki spaghetti! Saat adu penalti final Piala
Champions 1984 melawan AS Roma, pendahulu Dudek, Bruce Grobbelaar,
memelintir-melintir kakinya. Entah memang berpengaruh atau tidak,
Grobbelaar berhasil membawa Liverpool menang dan merebut Piala
Champions.
Trik yang sama dipakai Dudek ketika Andriy Shevchenko
bertugas sebagai eksekutor terakhir Milan. Terbukti, trik kuno itu
berhasil. Eksekusi Sheva mengarah ke tengah gawang dan dengan sebelah
tangan, Dudek menahannya. Liverpool pun merajai Eropa! Jerih payah fans
Liverpool yang terus menggemuruhkan dukungan untuk klub kesayangan
mereka terbayar sudah!
Mukjizat di Istanbul ini kemudian diabadikan dalam film Fifteen Minutes That Shook The World. Betapa tidak, final Liga Champions musim itu sangat dramatis dan membuktikan segalanya mungkin terjadi di lapangan sepakbola.
Pascafinal
Istanbul, hidup tak lagi sama. Tapi, hidup juga berjalan terus. Satu
per satu figur pemain heroik, seperti Harry Kewell, Milan Baros, Djibril
Cisse, Luis Garcia, Dudek, dan Smicer meninggalkan Anfield dan
melanjutkan karir di klub baru.
Sebagian tetap tinggal, terutama
Gerrard. Sang kapten sempat disebut-sebut akan hijrah ke Chelsea musim
panas 2005 itu. Tapi, Istanbul mengubah segalanya.
"Bagaimana mungkin saya pindah setelah mengalami final seperti ini?" ujar Gerrard.
Arak-arakan
bus dengan atap terbuka dan kerumunan satu juta orang, 300 ribu di
antaranya memadati St George's Hall, suatu hari di Mei 2005, pasti
takkan pernah dilupakan Liverpudlian sepanjang masa.
25 Mei 2005
Stadion Olimpiade Kemal Ataturk, Istanbul
Wasit: Manuel Mejuto Gonzalez
Penonton: 70.024 orang
AC Milan 3-3 Liverpool
(2-3 adu penalti)
(Paolo Maldini 1', Hernan Crespo 38', 42';
Steven Gerrard 54', Vladimir Smicer 56', Xabi Alonso 60')
Tidak ada komentar:
Posting Komentar